⛄ Pendidikan Gratis Di Indonesia
Liberalisasipendidikan Indonesia mengaburkan tugas negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Liberalisasi menyebabkan komersialisasi pendidikan yang masif dengan lahir swastanisasi dunia pendidikan. Jika pendidikan (pengetahuan) menjadi barang dagangan, lalu dimanakah tugas negara itu ? Slogan pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah akan menjadi mimpi buruk bagi warga negara, karena
Khususuntuk program beasiswa LPDP yang ditawarkan dalam melanjutkan pendidikan ke luar negeri, adalah beasiswa untuk program S2 dan S3. Beasiswa untuk jenjang Magister dan Doktoral ini merupakan beasiswa yang dibiayai penuh oleh pemerintah Indonesia melalui LPDP. Pembiayaan penuh tersebut meliputi, biaya pendidikan, biaya hidup, biaya
Sebagaimanayang diamanatkan oleh UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Setiap kota ataupun kabupaten diseluruh Indonesia harus mengembangkan dan menyelenggarakan minimal satu sekolah bertaraf Internasional untuk satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan SMK. Dengan demikian fenomena tumbuh suburnya sekolah - sekolah baik itu
ApaTujuan dari Pendidikan Gratis di Indonesia? Apa Manfaat Pendidikan Gratis? 1. Menjamin Tersedianya Pendidikan; 2. Menopang Suksenya Wajib Belajar 12 Tahun; 3. Adanya Pemerataan Kesempatan Memperoleh Pendidikan; 4. Pendidikan Gratis akan Memperbaiki Mutu Lulusan
Kualitaspendidikan di Indonesia disebabkan dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu dari faktor Internal meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen pendidikan Nasional, Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah atau tepatnya tidak harus murah atau gratis.
Jenisbuku yang terakhir adalah Buku Audio. Buku ini berupa materi suara dengan format mp3 atau ogg yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun kalian berada. Namun, untuk Buku Audio kini masih dalam tahap pengembangan. Seluruh buku yang terdapat di situs Sistem Informasi Perbukuan Indonesia bisa kalian akses secara gratis.
Masalahyang dihadapi dan solusinya. Implementasi teknologi pendidikan di Indonesia masih menemui beberapa hambatan, terutama dari segi infrastruktur dan kesiapan pengajar ataupun siswa. Organisation for Economic Cooperation and Development mencatat pemerataan akses untuk belajar daring di Indonesia masih rendah.
Tingkatpendidikan di Indonesia sendiri termasuk cukup baik. Pemerintah telah mengeluarkan banyak dana demi pembangunan pendidikan, seperti pembangunan gedung dan layanan sekolah gratis. Hal ini harus didukung oleh peserta didik yang mempunyai keinginan untuk belajar dan meraih prestasi.
Pendidikandi Indonesia dilaksanakan dan dibagi dalam beberapa jenjang. Jenjang pendidikan tersebut dibagi berdasarkan tingkatan usia dan kemampuan peserta didik, masing-masing jenjang pendidikan memiliki rentang usia dan lama pendidikan yang berbeda-beda. Dengan pengaturan jenjang pendidikan seperti ini memudahkan dalam pengelompokan peserta didik dan target serta kebijakan dan hal-hal lain
. Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional Hardiknas. Hardiknas ditetapkan pemerintah untuk memperingati kelahiran Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara yang lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Pada 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priayi maupun orang-orang Belanda. Ki Hadjar memiliki cita-cita mulia yakni pendidikan yang bisa dinikmati oleh semua rakyat. Kini setelah kemerdekaan diraih, apakah cita-cita Ki Hadjar Dewantara sudah terwujud? Mari kita lihat, salah satu program pemerintah, yakni program sekolah gratis atau sekolah tanpa pungutan yang bertujuan agar pendidikan bisa dinikmati semua lapisan masyarakat. Program pendidikan sekolah tanpa pungutan telah memasuki tahun ke-13, dan sampai saat ini belum pernah dievaluasi. Sebenarnya program tersebut mempunyai tujuan yang sangat baik untuk membuka akses kepada seluruh anak Indonesia mendapatkan pendidikan bermutu. Namun, apa capaian yang didapat selama program ini berjalan bertahun-tahun? Berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS tahun 2017, secara keseluruhan angka partisipasi murni APM sekolah dasar SD sebesar 97,14 persen, sekolah menengah pertama SMP 78,30 persen, serta sekolah menengah atas SMA dan sekolah menengah kejuruan SMK 60,19 persen. Definisi APM adalah proporsi penduduk pada kelompok umur jenjang pendidikan tertentu yang masih bersekolah terhadap penduduk pada kelompok tersebut. Jika dilihat secara kasat mata, persentase tersebut, bahkan APM untuk SD, mendekati 100 persen. Akan tetapi jika ditarik mundur dan dibandingkan data 2014, ternyata perubahan tersebut tidak signifikan. Data BPS 2014, APM SD sebesar 96,37 persen. Dengan demikian, berarti selama tiga tahun, kenaikan APM hanya 0,77 persen. Pun begitu untuk APM SMP, yang menurut data BPS pada 2014, sebesar 77,43 persen. Dengan demikian, berarti kenaikannya hanya di angka 0,87 persen selama tiga tahun terakhir. Sedangkan, APM SMA dan SMK hanya naik 0,95 persen selama rentang 2014 hingga 2017, dari sebelumnya 59,24 persen menjadi 60,19 persen. Dengan demikian, persentase kenaikannya di bawah 1 persen pada semua jenjang pendidikan. Fakta-fakta tersebut tentunya sangat memprihatinkan. Padahal sekolah gratis tersebut dianggarkan pada APBN dengan nilai Rp 45 triliun setiap tahun melalui program Bantuan Operasional Sekolah BOS. Jumlah itu belum ditambah program-program unggulan pemerintah seperti Program Indonesia Pintar PIP yang dimulai tahun 2015. Program unggulan dengan Kartu Indonesia Pintar KIP yang menelan anggaran hingga Rp 9 triliun, ternyata tidak mampu meningkatkan APM secara signifikan. Mungkin saja kita bisa beralasan ketidaksignifikanan tersebut terjadi di daerah yang termasuk terdepan, terpencil, dan tertinggal 3T. Namun, jika kita bandingkan dengan DKI Jakarta yang kaya dan memiliki anggaran pendidikan Rp 20 triliun setiap tahun, hal itu benar-benar terjadi. Berdasarkan data BPS 2017, APM SD di Jakarta sebesar 97,64 persen, untuk SMP 80,72 persen, dan APM SMA/SMK 59,54 persen. Persentasenya tidak jauh dibandingkan dengan persentase nasional, bahkan untuk SMA/SMK justru di bawah APM nasional. Jika kita kembali menarik mundur ke belakang, tepatnya pada 2014, APM untuk jenjang SD di DKI sebesar 96,84 persen, atau naik 0,8 persen saja. Untuk jenjang SMP hanya 79,61 persen atau naik 1,11 persen. Sedangkan, untuk usia SMA/SMK, APM pada 2014 sebesar 58,79 persen persen, naik 0,75 persen dalam rentang waktu tiga Pemprov DKI Jakarta memiliki program seperti PIP, yakni Kartu Jakarta Pintar yang menelan dana Rp 3 triliun setiap tahun. Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta juga menganggarkan dana Rp 1,5 triliun setiap tahun untuk dana bantuan operasional pendidikan BOP yang hanya diberikan untuk sekolah negeri di luar dana BOS. Jadi bisa dilihat, meskipun Pemprov DKI Jakarta menggelontorkan dana puluhan triliun setiap tahun untuk pendidikan, tetapi tak berdampak signifikan pada jumlah masyarakat yang bisa mengakses pendidikan. Berbasis UNApa yang menyebabkan dampak sekolah gratis belum signifikan? Dari beberapa hasil diskusi kelompok terpumpun atau focus group discussion yang membahas program atau sistem pendidikan di Indonesia yang melibatkan kementerian dan semua pemangku kepentingan bidang pendidikan, dapat disimpulkan bahwa program sekolah gratis ini belum tepat sasaran. Sebab, ternyata mereka yang bersekolah di sekolah gratis ini lebih banyak didominasi oleh masyarakat golongan menengah ke atas. Penyebabnya, antara lain karena proses penerimaan peserta didik baru menggunakan nilai atau hasil ujian nasional UN. Mereka yang berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke atas rata-rata memiliki nilai lebih, sehingga bisa mengakses layanan pendidikan dibandingkan anak dari keluarga kurang mampu. Tentu saja, anak-anak dari golongan masyarakat ekonomi menengah ke atas pula yang mampu untuk mengakses pelajaran tambahan, maupun bimbingan belajar atau bimbingan tes yang bisa memberikan fasilitas yang lebih dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Dengan demikian peserta didik dari keluarga tidak mampu harus bersekolah di sekolah berbayar swasta yang dengan keterbatasan sumber daya dan fasilitas, akan berdampak pada rendahnya mutu pendidikan yang diberikan. Di sisi lain, aturan pemerintah mengenai penerimaan peserta didik baru juga belum berpihak ke masyarakat kurang mampu. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru PPDB Pasal 16 ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu, yang berdomisili dalam satu wilayah paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Ini menjadi tanda tanya besar, mengapa peserta didik dari keluarga kurang mampu harus dibatasi untuk mendapatkan sekolah gratis? Seharusnya yang dibatasi justru mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas dan bukan yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Seharusnya tidak ada alasan anak dari keluarga tidak mampu untuk ditolak di sekolah negeri, karena sekolah tanpa pungutan akan jauh bermanfaat bagi anak yang berasal dari keluarga kurang mampu. Pada Permendikbud 17/2017 Pasal 16 ayat 2 diatur keluarga peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu dibuktikan dengan surat keterangan tidak mampu atau bukti lainnya yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. Adanya PIP maupun KJP seharusnya menjadi dasar bahwa anak tersebut berasal dari keluarga tidak mampu, sehingga tak perlu lagi bukti lain yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. Mereka seharusnya tidak boleh ditolak dengan alasan apa pun, sehingga tujuan pendidikan untuk semua lapisan masyarakat seperti yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara dapat terwujud. Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Dalam berita koran Banjarmasin Post, Selasa, tanggal 6 November 2018 yang lalu , pada halaman 9, yang berjudul " Pungutan Rp 160 Ribu untuk Beli Meja " ,subjudul " Disdik Batola Janji Panggil Kepsek", dan " Pernah Datang Ke Disdik". Menurut isi berita koran ini, sejumlah orangtua SDN Semangat Dalam 1, Kecamatan Alalak, Kabupaten Batola mengeluh. Empat tahun terakhir ada pungutan untuk siswa kelas I yakni uang meja kursi sebesar Rp 160 ribu per siswa per tahun." Sudah empat tahun terakhir ada pungutan dari sekolah. Kami kuatir nanti akan terjadi lagi pada siswa baru nantinya" kata salah satu orangtua siswa yang minta namanya dirahasiakan, Senin5/11.Pendidikan tanpa pungutan alias gratis merupakan salah program pemerintah bagi sekolah negeri guna memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak terbebani dengan biaya pendidikan anak-anaknya. Namun, dalam praktiknya masih ada sekolah yang melakukan pungutan seperti yang dilakukan oleh salah sekolah di Kabupaten Batola tersebut. Pungutan, berapa jumlahnya dan apapun alasannya, merupakan suatu bentuk praktik yang tidak sesuai dengan misi pendidikan gratis yang telah digariskan oleh pemerintah. Sekolah gratis merupakan kebijakan Nasional yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 Sekolah gratis memang sangat diperlukan dan idealnya seperti itu, jika pemerintah dapat memenuhi kebutuhan ideal dana bagi pengelolaan sekolah. Realitasnya menunjukkan terjadi kesenjangan antara kebutuhan sekolah dengan dana bantuan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, maka jangan heran jika banyak bangunan sekolah yang tidak layak karena tidak atau lambatnya mendapat bantuan dari pemerintah, sedangkan sekolah tidak punya dana untuk menanggulangi hal tersebut. Kebijakan sekolah gratis terkesan sebagai 'janji politik' semata untuk kepentingan sesaat, sementara itu dalam pelaksanaannya jauh panggang dari api. Demikian pula dengan ketentuan minimal 20% APBN dan APBD untuk pendidikan, tidak serta merta dapat mengatasi kesenjangan yang terjadi di sekolah selama yang timbul dengan adanya kebijakan sekolah gratis di lapangan, pihak sekolah menjadi serba salah dalam memungut atau meminta bantuan kepada orangtua peserta didik. Padahal menurut UU Sisdiknas Tahun 2003, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, orangtua, dan masyarakat. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut , partisipasi orangtua atau apapun namanya dapat dibenarkan sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab orangtua kepada sekolah. Namun, dalam realitasnya setiap sekolah 'dilarang' memungut atau meminta bantuan dalam bentuk dana kepada orangtua peserta didik. Sementara itu, dana bantuan dari pemerintah sangat terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sekolah yang semestinya, baik untuk pembangunan fisik dan operasional sekolah. Rasio kebutuhan riel sekolah dengan dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah tidak seimbang dan jauh dari kebutuhan riel sekolah yang ideal. Permasalahan adanya sekolah yang memungut dana dari orangtua untuk memenuhi kebutuhan sekolah, khususnya penyediaan sarana dan prasarana fisik di sekolah merupakan contoh konkrit yang menggambarkan bagaimana kondisi yang riel di sekolah selama dana Bantuan Operasional Sekolah BOS memang cukup banyak membantu sekolah dalam menyelasaikan beberapa masalah seperti membayar honorer guru atau staf TU , administrasi ATK dll, dan berbagai keperluan dasar/pokok sekolah yang bersifat rutin dan regular. 1 2 Lihat Pendidikan Selengkapnya
GGambar diambil dari Oleh Akbar Setiawijaya Untuk menjadi bangsa yang maju dan bermartabat ditengah perkembangan perekonomian global yang sangat pesat pastinya sangat tergantung pada faktor manusianya atau kualitas Sumber Daya Manusia SDM yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, salah satu cara untuk bisa mengatasi berbagai persoalan yang terjadi baik itu politik, ekonomi, dan social, budaya serta masalah dekadensi moral khususnya dikalangan para pelajar, maka dibutuhkan penguatan karakter SDM yang kuat yang didasarkan pada karakter bangsa indonesia melalui berbagai jenis pendidikan formal, informal dan non formal serta pada berbagai jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar, menengah, dan perpendidikan tinggi. Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan konsep pendidikan merdeka adalah pembelajaran yang bermanfaat untuk memerdekakan hidup dan kehidupan peserta didik, baik lahir maupun batin. Dasar negara dalam mengatur mengenai pendidikan di Indonesia tertuang pada Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945 Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya, Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang¬undang. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Selain itu dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga dituliskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” Pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terlihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Berdasarkan keterangan Pasal di atas, negara memiliki dua kewajiban utama yaitu menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara, dan membiayai pendidikan bagi warga negara. Menyelenggarakan pendidikan berarti negara harus menyediakan tempat/sekolah, pendidik, sarana dan prasarana sehingga kegiatan belajar mengajar tersebut bisa berjalan. Membiayai pendidikan berarti negara wajib menyediakan anggaran agar kegiatan belajar-mengajar yang melibatkan pendidik, sekolah, sarana dan prasarana bisa teralisir. Dalam implementasinya Pemerintah sejatinya sudah membiayai pendidikan secara keseluruhan, namun pada taraf pendidikan dasar memang seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh Pemerintah mulai dari infrastruktur sampai biaya SPP Sumbangan Pembinaan Pendidikan, mengapa demikian? Pendidikan nasional pada hakikatnya harus mampu memberi pendidikan dasar bagi setiap warga negara. Setiap warga negara berhak memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar. Kemampuan dasar ini meliputi dari kemampuan membaca, menulis, dan berhitung serta penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pendidikan dasar ini dibutuhkan warga negara untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, memperkuat persatuan dan kesatuan, serta turut serta dalam upaya bela negara. Untuk itulah Pemerintah menjamin dan memastikan bahwa wajib belajar 9 tahun dapat dijalankan secara menyeluruh dan gratis dibiayai Pemerintah lewat pendidikan dasar sesuai dengan Pasal 31 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 dan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa dalam alinea ke-empat pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Jika pendidikan dasar dibiayai penuh oleh Pemerintah lantas bagaimana dengan pendidikan menengah atas yaitu SMA dan SMK negeri yang dipungut SPP?. Hal tersebut sudah menjadi bentuk legitimasi otonomi daerah yang ada sekarang, sebagaimana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kebijakan pelimpahan manajemen pendidikan menengah dari kabupaten/kota ke provinsi. Artinya, tata kelola SMA dan SMK, termasuk pertanggungjawabannya berada pada gubernur. Akibat hadirnya kebijakan inilah yang membentuk berlakunya Sumbangan Pembinaan Pendidikan SPP di satuan pendidikan menengah. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud, Thamrin Kasman menyebutkan bahwa sekolah menengah belum seutuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Sehingga, masing-masing provinsi harus mempertimbangkan kecukupan anggaran. “Penarikan SPP memperhatikan analisis kecukupan. Jika pemprov sudah memandang anggarannya cukup, ya tidak perlu ada perda pungutan,” tambahnya. Tentunya dari pernyataan tersebut terlihat bahwa penarikan SPP menjadi kewenangan tiap Pemprov masing-masing sehingga besar jumlah SPP juga dikendalikan oleh kebijakan provinsi disesuaikan dengan anggaran provinsi. Gambar diambil dari Pendidikan tinggi merupakan jenis tingkatan tertinggi pendidikan formal sebagaimana diterangkan pada Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat perlu memiliki otonomi dalam pengelolaan lembaganya untuk itulah Pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Mengenai pembiayaan pendidikan tinggi sendiri diatur lebih jelas dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi. Pembiayaan UKT ini adalah bentuk dari kebijakan otonomi tiap kampus yang bertujuan untuk memberikan biaya pendidikan bagi tiap mahasiswa sesuai dengan kondisi ekonomi masing-masing dari mahasiswa itu sendiri. Bagi mahasiswa yang kurang mampu, UKT memberikan peluang pembayaran sebesar Rp 0 tentunya dengan dibuktikan persayaratan dan data dari pihak yang berwenang. Sehingga fungsi UKT disini sebagai subsidi silang antara mahasiswa mampu dan tidak mampu secara ekonomi Dengan Pemerintah yang hanya mengakomodir pendidikan dasar secara keseluruhan, apakah Pemerintah melepaskan tanggung jawabnya pada jenjang pendidikan lain?. harus dipahami bersama bahwa pembiayaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat. Sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia sekarang menurut ketentuan dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tangung jawab bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Bagaimanapun juga partisipasi masyarakat memang dibutuhkan untuk pengembangan sektor pendidikan nasional agar mampu berkembang lebih jauh untuk menuju persaingan global. Jika menengok ke belahan negara lain, sejatinya terdapat beberapa negara yang mampu menggratiskan biaya pendidikan di semua jenjang bagi setiap warga negaranya. Terdapat beberapa contoh yang mungkin sudah sering kita semua dengar seperti Jerman. Negara ini seringkali dijadikan acuan bagi negara-negara yang masih membebankan sebagian biaya pendidikan pada masyarakatnya, namun yang perlu dipahami bahwa negara acuan ini dapat menyelenggarakan pendidikan gratis karena kondisi dan kebijakan ekonomi yang tentunya sangat berbeda dengan negara seperti Indonesia ini. Pajak negara Jerman sendiri rata-rata berkisar 39,5%, Jauh jika dibandingkan dengan negara Indonesia yang pada Pasal 17 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, dinyatakan bahwa pajak wajib bagi warga negara adalah “Untuk mereka dengan penghasilan di bawah Rp 50 juta pertahun tarif pajaknya adalah 5 persen, untuk penghasilan antara Rp 50 juta hingga Rp 250 juta pajaknya sebesar 15 persen, penghasilan antara Rp 250 juta hingga Rp 500 juta pajaknya sebesar 25 persen, penghasilan diatas Rp 500 juta sebesar 30 persen.” Dari segi persentase penerimaan pajak saja penerimaan antara Indonesia dan Jerman sudah berbeda jauh, belum lagi pendapatan perkapita perkapita warga negara Indonesia pada tahun 2018 yang menurut data BPS sebesar US$ atau setara dengan 56 juta rupiah sedangkan pada Negara Jerman di tahun 2018 pendapatan rumah tangga perkapitanya sebesar 33, US$ atau sekitar 504 juta rupiah. Dari data di atas dapat dilihat bahwa dalam segi kemampuan finansial masyarakat di negara Jerman sangat jauh diatas negara Indonesia, dengan presentase pajak warga negara yang tinggi maka hasil penerimaan APBN di negara Jerman akan lebih besar dan pengalokasian untuk bidang pendidikan jadi lebih luas dan efektif penggunaannya. Sejatinya hanya ada segelintir negara saja yang sanggup menerapkan gratis menyeluruh seperti negara Jerman, bahkan negara-negara maju lain seperti Inggris, Amerika Serikat, Korea Selatan masih membutuhkan biaya dari masyarakat langsung untuk pemenuhan kebutuhan pendidikan negaranya. Research Associate J-PAL Asia Tenggara, Elza Samantha Elmira berpendapat alih-alih menggratiskan kuliah. Menurutnya, menggratiskan kuliah untuk semua orang tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi mereka yang mungkin berbeda tidaklah adil. “Agaknya tidak adil jika kita memimpikan kuliah gratis untuk semua orang. Tidak adil dalam artian, ada orang yang mampu dan ketika dia berkuliah, dia akan sangat eksponensial pendapatan dan penghidupannya. Padahal dia mampu untuk membiayai kuliah, dibandingkan dengan orang-orang yang betul-betul membutuhkan,” urai mantan peneliti The SMERU Research Institute itu. Dapat terlihat bahwa ada banyak aspek yang perlu diperhatikan untuk penerapan kebijakan pendidikan gratis di semua jenjang pendidikan seperti tingkatan ekonomi suatu negara, minat pendidikan tinggi masyarakat, budaya hukum, sampai ke sistem ketatanegaraan juga harus diperhatikan agar kebijakan pendidikan gratis ini dapat memberikan dampak positif yang luas bagi masyarakat dan tentunya dapat mewujudkan keadilan secara proporsional untuk setiap masyarakat. Dasar Hukum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Referensi Jurnal Ilmiah Peuradeun International Multidisciplinary Journal JIP-International Multidisciplinary Journal {261} Konsep Pendidikan Jerman dan Australia Kajian Komparatif dan Aplikatif terhadap Mutu Pendidikan Indonesia Data Badan Pusat Statistik Tahun 2018 Jurnal Ekonomi dan Pendidikan Volume 1 Nomor 1 Januari 2018. Hal. 27-33 p-ISSN 2614-2139; e-ISSN 2614-1973, Homepage Profil Penulis Akbar Setiawijaya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung semester III yang saat ini menjadi Anggota Muda UKM-F PSBH. Post Views 159
pendidikan gratis di indonesia